Thursday, June 21, 2018

Pasal Rehabilitasi hanya mitos??.

Seru Berbagi Ilmu

Diskusi Publik UNODC dan BNN tentang Pasal 54 dan 127

Pada 6 April 2017, UNODC bekerjasama dengan BNN mengadakan diskusi publik mengenai implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Acara yang diadakan di Morrissey Hotel ini bertujuan untuk mendukung rencana pemerintah sehubungan dengan revisi UU Narkotika. Untuk menjawab harapan penyelenggara agar diskusi tersebut dapat mengidentifikasi tantangan dan memperoleh rekomendasi sebagai bahan pertimbangan proses revisi UU Narkotika, LBH Masyarakat melalui perwakilannya pada diskusi itu menyampaikan masukan melalui dokumen tertulis. Berikut adalah analisa dan rekomendasi kami yang telah kami berikan pada perwakilan UNODC dan Direktur Hukum BNN, Bapak Darmawel Aswar.

Input LBH Masyarakat untuk Diskusi Publik UNODC dan BNN RI tentang Pasal 54 dan 127 UU Narkotika
LBH Masyarakat menyambut baik upaya diskusi publik yang diselenggarakan UNODC dan BNN ini. Forum besar yang mempertemukan BNN, dalam konteksnya sebagai penegak hukum, dan masyarakat sipil yang terdampak langsung bukanlah forum yang sering terjadi. Kami berharap hal-hal yang kami sampaikan di sini dapat bermanfaat untuk rekan-rekan BNN dalam menyikapi momen-momen perubahan regulasi narkotika yang akan datang.

Diskusi publik ini memberikan fokus pada implementasi Pasal 54 dan Pasal 127 UU Narkotika. Dua pasal yang digadang-gadang menjadi tulang punggung pemberian rehabilitasi entah dalam rupa diskresi ketika tahap penyidikan ataupun putusan hakim.

Kami yakin bahwa kawan-kawan yang ada di sini dapat memberikan masukan tentang praktik penerapan Pasal 54 dan Pasal 127. Namun, ada baiknya kita bahas juga kedua pasal tersebut. Apakah kedua pasal ini memang menjamin hak atas kesehatan yang dibutuhkan oleh rekan-rekan pemakai narkotika? Atau, justru istilah ‘pasal rehab’ itu hanyalah retorika yang menginterpretasi UU Narkotika agar lebih terkesan humanis dan ramah pada pemakai narkotika?
Pertama, perlu diperhatikan bahwa Pasal 54 berada di Bab IX UU Narkotika yang membicarakan tentang Pengobatan dan Rehabilitasi sedangkan Pasal 127 berada di Bab XV tentang Ketentuan Pidana. Terpisah jauhnya kedua pasal ini tentu secara tidak langsung menunjukan bahwa situasi hukum yang ingin dicapai oleh kedua pasal ini sebenarnya terpisah.

Pasal 54 UU Narkotika menyatakan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial”. Pasal ini tidak serta merta berarti bahwa pecandu narkotika dan penyalahguna berhak atas rehabilitasi. Pasal ini justru meletakan beban pada pecandu dan korban penyalahguna untuk memiliki kewajiban menjalani rehabilitasi. Sebuah hal yang jika ditinjau dari kacamata hak atas kesehatan sebenarnya tidak sesuai karena seharusnya negara yang mengemban tanggung jawab untuk memberikan layanan kesehatan bukannya memaksa rakyatnya untuk mengakses layanan.

Pasal 127 sendiri, sebagaimana kita semua tahu, ayat pertamanya berisi pemidanaan bagi penyalahguna narkotika. Kesempatan rehabilitasi seakan datang melalui ayat 2 yang mengatakan bahwa dalam memeriksa perkara Pasal 127 hakim harus memperhatikan Pasal 54, 55, dan 103 UU Narkotika. Pasal 54 dan 55 pada dasarnya memberikan pengecualian pada penyalahguna yang sudah melaporkan diri ke negara. Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 128 ayat 3 yang menyatakan bahwa mereka yang sudah melaporkan diri tidak dipidana. Pasal 103 di sisi lain memberikan wewenang pada hakim untuk dapat memutus rehabilitasi.

Masalah pertama yang ditemukan dalam struktur ini adalah permasalahan terminologi. Pasal 54 menggunakan pecandu dan penyalahguna, Pasal 55 dan Pasal 103 memakai pecandu, Pasal 127 ayat 1 penyalahguna, Pasal 127 ayat 3 malah menyebut penyalahguna yang kemudian diketahui sebagai korban penyalahguna.
Tentu kami paham bahwa setiap pasal ada maksudnya. Konstruksi yang dibangun oleh skema ini adalah pecandu dan penyalahguna dapat direhabilitasi sedangkan penyalahguna dipidana. Konstruksi ini dalam pandangan kami perlu dievaluasi karena tidak dapat menjawab pemenuhan hak atas kesehatan kepada setidak-tidaknya 3 kelompok: (1) Orang yang memakai narkotika untuk pertama-tama atau masih coba-coba atau orang yang memakai narkotika sekali-sekali saja, tanpa permasalahan ketergantungan, (2) orang yang memakai narkotika setelah menjalani dua kali masa perawatan, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 128, dan (3) orang yang memakai narkotika untuk kepentingan medis tanpa resep dokter.

Untuk kelompok pertama, ada argumen bahwa kelompok ini masih dapat dikategorikan pecandu mild bila memenuhi beberapa kriteria pada DSM V. Namun argumentasi ini rawan akan pengkhianatan intelektual karena si konselor adiksi atau orang yang memberikan assessment akan memiliki kecenderungan untuk meningkatkan status seseorang yang sebenarnya tidak memiliki masalah adiksi menjadi seorang pecandu untuk bersesesuaian dengan ketentuan UU agar si klien tidak dipenjara. Kelemahan berikut dari argumentasi ini juga, jika dikaitkan dengan konstruksi yang dibangun UU ini, adalah, jika mereka yang baru coba-coba atau hanya menggunakan narkotika sekali-kali dianggap pecandu, maka siapakah yang disebut penyalahguna?
Masalah kedua yang kami lihat dari skema UU ini adalah bahwa semua penentuan status dan pidana kepada pecandu, penyalahguna, atau korban penyalahguna dibebankan pada institusi kehakiman. Hal ini jelas terlihat pada Pasal 127 ayat 2 dan Pasal 103 yang dengan terang benderang menyebut ‘hakim’ dalam ketentuannya. Hal ini bermasalah karena hakim adalah ahli hukum, bukan kesehatan apalagi soal adiksi. Sebagai contoh, pada penelitian kami terhadap putusan-putusan PN di Jabodetabek pada 2014, ada seorang hakim yang memutus rehabilitasi selama 28 bulan lamanya. Selain bahwa proses rehabilitasi selama itu rawan tak efektif, angka putusan itu juga menyalahi rekomendasi SEMA No. 4 Tahun 2010 yang mematok batasan rehabilitasi sampai satu tahun saja paling lama. Beban berat yang diberikan pada sistem peradilan ini juga tak pelak membebani rekan-rekan yang bekerja di Puskesmas, rumah sakit, atau lembaga rehabilitasi. Berkebalikan dengan situasi hakim sebelumnya, rekan-rekan ini adalah ahli kesehatan dan adiksi, mereka bukan ahli hukum. Namun skema yang demikian memaksa mereka untuk mampu menulis surat keterangan atau memberikan keterangan di hadapan penegak hukum. Kemampuan demikian tidak dimiliki secara merata oleh rekan-rekan petugas kesehatan, kalau tidak mau kita bilang kurang. Berhadapan dengan penegak hukum tetaplah tantangan bagi petugas kesehatan dan tidak semuanya mau dan mampu untuk itu.

Masalah ketiga yang kami lihat adalah skema yang tidak jelas dari UU ini membuat beberapa instansi  membentuk semacam peraturan internal agar, setidaknya bagi instansi tersebut, mereka memiliki panduan yang jelas untuk menuntut atau memutus rehabilitasi. Kejaksaan Agung misalnya mengeluarkan SEJA No. B-601/E/EJP/02/2013 untuk memberikan kriteria pada Penuntut Umum agar dapat menuntut rehabilitasi. Problem yang muncul dari SEJA ini sama persis dengan Pasal 103, yakni menggunakan kata ‘dapat’ bukannya menggunakan kata yang lebih kuat untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan bagi rekan-rekan pemakai narkotika. Mahkamah Agung bahkan sejak 2010 mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 2010 yang memberikan kriteria-kriteria bagi hakim untuk memutus rehabilitasi. Kriteria-kriteria ini yang kemudian diambil oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk SEJA tadi.

Tidak boleh juga kita lupa bahwa skema pemberian rehabilitasi tersebut juga dirusak oleh keberadaan pasal-pasal yang memidana penguasaan[1] dan pembelian[2] narkotika, hal-hal yang umum dilakukan oleh pemakai narkotika. Untuk mengatasi permasalahan ini, Mahkamah Agung bahkan melangkah jauh dengan mengeluarkan SEMA No. 7 Tahun 2012 dan SEMA No. 3 Tahun 2015 yang keduanya seirama menyebut bahwa jika hakim menduga kuat bahwa si terdakwa adalah pemakai narkotika belaka namun tidak didakwa dengan Pasal 127, hakim dapat menerobos pidana minimum pasal yang dikenakan kepada si terdakwa.

Permasalahan dengan surat-surat edaran ini yang paling jelas adalah soal kekuatan hukum, baik dari segi wording dan ketaatan internal pada ketentuannya. Kemudian adalah soal kepastian hukum. Seharusnya rekan-rekan penyidik dan juga parlemen dapat melihat bahwa ada kejenuhan serta kebingungan dari Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung dalam menangani pemakai narkotika dan memberikan rehabilitasi. Surat-surat edaran ini, di luar segala kekurangannya, secara tidak langsung mengambil arah sendiri, yang menurut hemat kami, jauh lebih humanis dari UU Narkotika.

Pada akhirnya, sebagaimana dikatakan dalam undangan, ini waktunya kami memberikan rekomendasi untuk menyikapi beberapa upaya perubahan regulasi ke depannya, antara lain untuk RKUHP dan upaya revisi UU Narkotika. Berikut rekomendasi kami:
Agar BNN berperan aktif di DPR RI untuk segera menghilangkan ketentuan tindak pidana narkotika di RKUHP terutama tindak pidana yang berkaitan dengan pemakai narkotika. Hal ini kami minta bukan karena kami tidak ingin melakukan perubahan melalui RKUHP. Namun, di luar bahwa sejauh ini tindak pidana narkotika hanya copy paste dari UU Narkotika, menurut kami narkotika seharusnya diatur secara terpisah karena materi yang diatur sangat luas dan terpisahnya tindak pidana dari UU Narkotika akan membuat regulasi mengenai narkotika tidak komprehensif. Lebih penting dari itu, dimasukannya tindak pidana narkotika ke RKUHP memiliko risiko tinggi akan tidak terpenuhinya hak atas kesehatan bagi pemakai narkotika. Hal ini disebabkan karena baik PP No. 25 Tahun 2011 tentang Wajib Lapor, Peraturan Bersama 7 Institusi, dan surat-surat edaran Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, dan peraturan-peraturan lain yang terkait pemberian rehabilitasi menjadikan UU Narkotika sebagai batu pijakan. Ketika batu pijakan itu tidak ada, kemudian bagaimana nanti nasib teman-teman pemakai narkotika?

Melakukan revisi terhadap UU Narkotika yang mengedepankan intervensi kesehatan bukannya sistem peradilan. Kami pikir sudah waktunya rekan-rekan penegak hukum berhenti dari ketersesatan pemilihan terminologi antara korban penyalahguna, penyalahguna, dan pecandu. Inisiatif Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung yang menggunakan gramatur sebagai pembeda antara pemakai narkotika dan mereka yang terlibat peredaran gelap merupakan sebuah hal yang dapat dijadikan contoh. Apa yang sudah ditawarkan oleh SEMA dan SEJA tersebut tentu perlu diperbaiki nafasnya dengan menempatkan rehabilitasi sebagai layanan yang negara berikan bukan kewajiban pemakai narkotika, diteliti dengan baik dan disesuaikan lagi penentuan berat dan zatnya, dan kemudian tentu diperkuat melalui legislasi di parlemen.
LBH Masyarakat tentunya sangat senang apabila rekan-rekan BNN mau membuka pintu dialog seperti ini. Dalam minggu-minggu ke depan, kami akan menerbitkan serangkaian policy paper terkait kebijakan narkotika Indonesia hari ini. Kami harap BNN tetap mau membuka pintu dialog agar bersama-sama kita dapat mewujudkan kebijakan narkotika yang lebih humanis. Dunia pasti akan memberikan hormatnya ketika BNN jelas bersikap bahwa di Indonesia, bagi pemakai narkotika,
#penjarabukansolusi.

Yohan Misero
Analis Kebijakan Narkotika LBH Masyarakat

[1] Pasal 111, 112, 117, 122 UU Narkotika
[2] Pasal 114, 119, 124 UU Narkotika

«

2018, All Rights Reserved

Sumber :
https://lbhmasyarakat.org/diskusi-publik-unodc-bnn-tentang-pasal-54-127/

No comments:

Post a Comment